Rabu, 22 Desember 2010

Generasi Islam Moderat ditengah Isu Terorisme Global

Membangun Generasi Islam Moderat ditengah Isu Terorisme Global antara Tradisi, Kelatahan dan Tekanan

Oleh : Fahmi Sahirul Alim

Pendahuluan

Adanya serangan yang dilakukan oleh kelompok militan yang menamakan diri Al-Qaidah pimpinan Osama Bin Laden terhadap Gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York dan sebagian gedung Pentagon di Whasington pada tanggal 11 September 2001 menjadikan Isu terorisme global menjadi perhatian utama dunia internasional, terlebih yang menjadi sasaran serangan adalah Negara yang pada saat itu merupakan Negara yang mempunyai kapabilitas militer dan ekonomi terkuat pasca pesaingnya Uni Soviet resmi runtuh pada tahun 1989, yang menandakan pula berakhirnya perang dingin yang melibatkan Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Pasca Perang dingin berakhir, ada optimisme dikalangan dunia internasional bahwa politik dunia akan lebih hirau dengan isu-isu low politics, seperti ekonomi, lingkungan dan hak asasi manusia.[1] Namun serangan yang terjadi pada 11 September 2001 atau lebih dikenal dengan Peristiwa 9/11 tersebut menjadikan politik internasional tidak mempunyai kepastian yang jelas, karena yang yang diserang oleh kelompok Al-Qaida adalah Negara yang selalu menamakan dirinya sebagai polisi dunia dan selalu bisa merealisasikan semua kepentingan nasionalnya. Setelah kejadian tersbut Amerika Serikat langsung bereaksi dengan menyerang rezim Thaliban di Afghanistan yang dituduh menyembunyikan dan memberi perlindungan terhadap Osama Bin Laden yang menjadi otak serangan teroris dalam Peristiwa 9/11.

Indonesiapun menjadi “bulan bulanan” kawanan teroris diawali dengan peledakan bom di Legian Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan 180 orang.dan 1 Oktober 2005, kemudian bom bubuh diri yang dilakukan didepan hotel J.W Marriot Jakarta pada 5 Agustus 2003[2] dan serangan bom selanjutnya di depan Kedutaan Besar Australia, Kuningan Jakarta. Rangkaian serangan terorisme yang terjadi di Indonesia tersebut tentu menjadi perhatian dunia internasional, terutama penggagas global war on terrorism, Amerika Serikat. Terlebih Indonesia adalah Negara dengan mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia, dan dalam setiap serangan yang dilakukan kelompok teroris yang menamakan diri Jamaah Islamiyah (jaringan Al-Qaida) tersebut selalu mengatasnamakan agama Islam dan menyatakan kebenciannya terhadap AS dan barat.

Setelah beberapa ledakan bom terjadi di Indonesia, kemudian pelaku-pelaku pemboman tersebut ditangkap oleh pihak yang berwajib, lantas tidak membuat Indonesia sepenuhnya aman dari bahaya serangan terorisme, bahkan pada perjalananya ledakan terbaru terjadi pada bulan Juli 2009 di Hotel Rizt Charlton Jakarta dan ditemukanya beberapa bahan peledak yang siap dipakai oleh kelompok teroris. Bahkan baru-baru ini kepolisian yang tergabung dalam Densus 88 menemukan kamp pelatihan kelompok teroris di Aceh dan adanya beberapa perampokan yang diduga dilakukan oleh kelompok teroris. Melihat keadaan tersebut tentu menimbulkan penilaian negatif dari kalangan pemimpin-peminpin Asia Tenggara terutama mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yee bahwa Indonesia merupakan the weakest chain regional cooperation dalam memerangi terorisme.[3]

Penilaian-penilaian tersebut tentu memojokan dan mebuat citra Indonesia di mata internasional menjadi tercoreng, sehingga terkesan Indonesia merupakan Negara yang tidak aman, kesan tersebut tentu berdampak buruk terhadap berbagai aspek bagi Indonesia terutama Ekonomi dan dunia Pariwisata. Beberapa Negara barat yang waspada dan selalu melakukan pencegahan (preventif) akan bahaya terorisme tidak menutup kemungkinan untuk mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya agar tidak mengunjungi Indonesia.

Dari uraian diatas terlihat bahwa suatu Negara, khususnya Indonesia, dalam menanggulangi aksi terorisme dan menyikapi isu terorisme global tidak bisa dilakuakn dengan hanya menggunakan kekerasan (hard power) dan penegakan hukum (law enforcement) semata. Dan yang menjadi sorotan dan ditunggu oleh dunia internasional sebenarnya adalah sikap Indonesia yang sesungguhnya menyikapi isu terorrisme global ini, disamping menanngulanngi aksi-aksi terorisme yang terjadi di dalam negeri. Kenapa demikian? . Pertama, Indonesia merupakan Negara yang mempunyai penduduk muslim terbesar didunia, oleh karena itu tentu Indonesia tidak bisa dengan mudah bersikap mengikuti dan membiarkan AS menyerang Afghanistan yang merupakan negara Islam, dengan dalih memerangi terorisme, atau bahkan mengikuti seruan AS dalam kampanye war on terror yang memang pada faktanya pelakunya merupakan orang Islam dan mengatatasnamakan Islam. Apabila tidak dengan hati-hati dalam mengambil sikap dalam hal tersebut tentu ini dapat menyakiti hati warga muslim, dan akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Hal ini sesuai apa yang dikatakan oleh Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda bahwa “ every domestic issues has a forign policy aspect” [4]

Kedua, Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia, bahkan menurut Juwono Sudarsono ada tiga alasan mengapa Indonesia menjadi contoh terbaik demokrasi dikalangan Negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Pertama, Turki dianggap sebagai Negara dengan tradisi sekuler yang cukup kuat dan terlalu dekat ke Barat sebagai anggota NATO yang ingin bergabung dengan Uni Eropa. Kedua Pakistan selalu diasosiasikan dengan perseteruan sektarian dengan India sedangkan Malaysia terlalu kecil untuk memainkan peran kepemimpinan dalam dunia Islam. Ketiga, Islam Timur Tengah telah terjebak didalam konflik Arab-Israel dan tidak bisa dijadikan sebagai panutan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai.[5]

Perlu diketahui bahwa dalam Negara demokrasi proses pembuatan kebijakan luar negeri tidak sepenuhnya diemban oleh eksekutif (Pemerintah). Dalam hal ini pemerintah harus memperhitungkan aktor-aktor lain seperti parlemen, partai politik, organisasi massa ,lembaga swadaya mayarakat, pers dan konstituen politik dalam masyarakat. Melihat situsasi dan kondisi yang dialami Indonesia pada saat itu, maka munculah istilah Islam Moderat sebagai alat untuk mencitrakan Indonesia agar Indonesia mempunyai image dan national branding yang baik di mata internasional dan tentu meningkatkan kredibiltas Indonesia. Dan Pemerintah sendiri tak segan menggandeng dua Ormas Islam terbesar yaitu Muhammadiyah dan NU sebagai patner dalam mempromosikan dan mencitrakan Islma moderat, baik itu dilingkungan domestik, maupun lingkungan internasional dengan berbagai kegiatan, bahkan Kementrian Luar Negeri melalui Direktorat Jenderal Diplomasi Publik[6] memfasilitasi beberapa kegiatan untuk mencitrakan Islam Moderat tersebut.

Berbagai kegiatan tersebut contohnya "Deklarasi Jakarta 2001", yang merupakan hasil Summit of World Muslim Leaders-salah satu konferensi yang digelar oleh muslim Asia Tenggara untuk merespon radikalsme agama-, menyatakan bahwa Islam adalah agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak anti-kemajuan. Berikutnya adalah The Jakarta International Islamic Conference (JIIC) yang dilaksanakan
atas kerjasama NU-Muhammadiyah pada tanggal 13-15 Oktober 2003 dan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) II, yang berlangsung 20-22 Juni 2006 di Jakarta, dihadiri cendekiawan dari 53 negara..

Namun yang jadi pertanyaan adalah, mengapa Istilah Islam Moderat tersebut menjadi topik yang hangat ketika isu terorisme mengguncang dunia khususnya pasca peristiwa 9/11. Dan apakah istilah Islam moderat sesuai dengan tradisi Islam terdahulu, sehingga ada wacana timbul bahwa dewasa ini “harus” banyak generasi generasi baru yang lahir dan menjadi cendikiawan-cendikiawan Islam moderat. Sehingga seolah-olah melahirkan generasi cendekiawan Islam moderat tersebut bukan karena tradisi dan kesadaran, melainkan karean kelatahan dan tekanan dari Sang Penekan. Tak lain adalah Amerika Serikat yang menciptakan kontruksi Islam moderat. Kemudian tantantangan apa saja yang dihadapi dalam mewujudkan generasi baru atau cendikiawan-cendikiawan muda agar mempunyai pemikiran Islam moderat.

Asal Usul istilah Islam moderat

Sampai saat ini istilah Islam Moderat memang masih menimbulkan perdebatan dikalangan cendikiawan muslim sendiri, menurut M Hilaly Basya
Direktur Eksekutif Center for Moderate Muslim (CMM) dalam salah satu artikelnya :

Islam moderat memiliki kiprah yang cukup panjang di Indonesia. Menguatnya peran Islam di Indonesia sejak abad ke-14 M, terutama pascaberdirinya Kerajaan Samudra Pasai dan Demak, diyakini oleh para sejarawan, tidak merusak identitas lokal. Malah konversi penduduk lokal kedalam agama Islam tidak menyebabkan mereka menanggalkan tradisi lokal. Padahal dua kerajaan itu berdiri di daerah pesisir, di mana pengaruh penguasa-penguasa lokal tidak kuat. Logikanya, semakin kecil pengaruh kekuasaan lokal, maka semakin besar kemungkinan tercabutnya tradisi lokal dalam proses konversi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam yang tumbuh di Indonesia memiliki karakter yang moderat. Istilah moderat dalam konteks ini dapat didefinisikan toleran dan simpatik. Sebuah bentuk keberagamaan yang menghormati identitas kebudayaan dan tradisi.”[7]

Menurutnya Karakter seperti itulah yang sebetulnya mengakar kuat dalam perkembangan Islam selanjutnya. Meski belakangan muncul karakter lain yaitu puritan, akibat dari perjumpaan intelektual Muslim Nusantara --terutama yang berasal dari daerah Aceh dan Sumatra Barat-- dengan Muslim Hadramain (Makkah dan Madinah). Hal itupun terjadi seiring dengan persaingan politik antara Turki Usmani dengan penguasa-penguasa Eropa di abad ke-17 M. Kesamaan identitas agama dan ketegangan dengan bangsa Eropa mendorong menguatnya konsolidasi kekuatan antarpenguasa Muslim. Selain itu, hubungan diplomatis dan perdagangan Muslim Nusantara dengan Turki Usmani dan khalifah-khalifah di Timur Tengah berlanjut pada tradisi belajar di Hadramain, seiring dengan pelaksanaan ibadah Haji dan Umrah.Sebagai pusat perjuangan Nabi Muhammad, Hadramain memiliki tradisi keagamaan yang lebih ketat. Karakter puritan ini diperkuat ketika gerakan Wahabi muncul pada awal abad ke-19. Karena itu, Islam yang puritan muncul lebih akhir dan terlokalisasi di sekitar Sumatra. Namun secara keseluruhan, watak Islam yang tersebar di Indonesia adalah moderat.

Perkembangan Islam yang moderat ini disebutkan oleh John L Esposito akan menjadi pendorong munculnya kawasan alternatif bagi kebangkitan Islam (1997). Kecenderungan ini mengeliminasi pandangan pesimistis yang menyatakan bahwa agama Islam akan menjadi penghambat modernisasi dan demokrasi, seiring dengan tumbuhnya Islam moderat di Indonesia. Mengenai hal ini telah banyak peneliti dan pengamat yang menulis tentang peran gerakan Islam Moderat dalam modernisasi di Indonesia. Sebut saja di antaranya Greg Barton, peneliti dan pakar di bidang Islam dari Australia, yang meneliti pemikiran Cak Nur, Ahmad Wahib, Gus Dur, dan Djohan Effendi. Barton mengelompokan mereka sebagai gerakan Islam neo-modernis, dengan meminjam istilah yang diperkenalkan oleh Prof Fazlur Rahman. Penggunaan istilah tersebut kadang diganti dengan terma ''moderat''.[8]

Islam Moderat tidak berarti mengorbankan makna Islam itu sendiri. Justru Islam sedang ditampilkan secara progresif, penuh toleransi, dan liberal. Barangkali tema-tema yang diajukan kalangan Islam Liberal semacam, sebagaimana dicatat Charles Kurzman (lihat, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global; Paramadina, 2001), menentang teokrasi, mendukung demokrasi, menghormati hak-hak perempuan, menghormati hak-hak non-muslim, kebebasan berpikir, dan gagasan tentang kemajuan, perlu dikedepankan. Belakangan di Indonesia muncul gerakan Islam Liberal, yang tampaknya cenderung moderat dalam melemparkan isu-isu keagamaan global. Tema-tema moderat Islam Liberal, tampaknya, dilengkapi arus lain dari tumbuhnya moderatisme Islam Indonesia, yakni, post-tradisionalisme Islam, yang digerakkan anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Kehadiran mereka, tampaknya hendak meneguhkan moderatisme Islam Indonesia, yang sebenarnya secara organisatoris telah lama dikembangkan secara dominan oleh dua varian pergerakan Islam terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. Paparan diatas yang diunkapkan M. Hilaly Basa hanya sedikit menerangkan secara sederhana keberadaan istilah Islam moderat sendiri. Tentu masih banyak literatur yang dapat kita jumpai mengenai sekelumit istilah Islam moderat tersebut. Sehingga membuat kita yakin akan keberadaan dan perananya.

Tatantangan dan harapan melahirkan generasi Islam moderat

Terbangunya kelompok Islam moderat memang tidak lepas dari adanya peristiwa 9/11, dimana setelah peristiwa itu agama Islam disalahkan karena pelaku teroris mempunyai pemahaman bahwa Islam mengajarkan perlawanan dengan kekerasan dan tiada kata lain kecuali melawan secara frontal akibat ketidakadilan yang diciptakan oleh barat.yang dialami oleh umat Islam, khususnya yang ada di timur tengah. Kelompok-kelompok yang disebut Islam radikal tersebut walupun minoritas, khususnya yang ada di Indonesia, namun mempunyai suara yang lantang, dan tentu seolah-olah mewakili umat Islam seluruh Indonesia. Oleh karena itu tergeraklah beberapa ormas untuk membantu Pemerintah dalam mempromosikan Islam moderat. Dan yang masih menjadi “PR” bagi kalangan Islam moderat sesungguhnya adalah bagaimana membangun dan melahirkan generasi-generasi baru yang nantinya akan menjadi penerus mereka kedepan kelak, sebagai cendikiawan-cendikiawan Islam moderat

Membangun dan mencetak generasi yang berhaluan Islam moderat memang tidak semudah membalikan telapak tangan, perlu proses dan pembelajaran yang panjang, tentunya generasi-generasi tersebut harus mempunyai tingkat pendidikan yang “tinggi” dan wawasan yang luas tentang keislaman dan peradaban barat yang memang sekarang realitanya jauh dengan peradaban Islam. Hingga ini mayoritas pemeluk Islam masih terbelenggu dengan kebodohan dan kemiskinan. Sampai saat ini satu hal sisi jahat peradaban barat, yaitu imperealisme, kolononialisme diikuti dengan neo-neonya yang hingga kini masih menjadi musuh umat manusia, khususnya bagi Negara-negara ketiga yang masih tergantung dengan barat dalam hal ekonomi.

Generasi baru Islam moderat nantinya diharapakn tidak hanya mempromosikan dan menampilkan wajah Islam moderat yang sekarang hal tersebut dilakukan oleh para golongan “tua” dalam menangkis tuduhan tuduhan stereotip terhadap Islam sebagai agama yang “merestui” terorisme. Kedepan generasi tersebut mampu menyaingi peradaban Barat, dari berbagai segi. Dan bukan dengan semudah membuat Negara Islam atau menciptakan Khilafah Islamiah yang universal untuk melawan system ketidakadilan yang dibuat oleh barat. Perlu proses dan perjuangan yang panjang untuk dapat menandingi peradaban barat yang semakin pesat.

Namun untuk melahirkan generasi Islam moderat kelak tidak luput dari berbagai tantangan yang dihadapi. Dalam artikel yang ditulis oleh Arya Fernandez ada Sembilan tantangan dalam melahirkan generasi Islam moderat.[9] Pertama adalah melembagakan pemikiran yang moderat melalui institusi pendidikan. Hal ini bertujuan untuk mengikis munculnya pemikiran yang radikal sedari dini, terutama di dunia pendidikan. Pasalnya hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tentang "Sikap dan Perilaku Sosial-Keagamaan Guru-Guru Agama di Jawa" pada September 2008 lalu menunjukkan masih lemahnya pemikiran moderat di institusi pendidikan.

Hal itu ditunjukkan dengan lemahnya penghargaan atas toleransi dan pluralisme di kalangan guru dan anak didik. Survei yang dilakukan pada 500 guru agama dan 208 siswa/i kelas 3 dari seluruh SMU/SMK di pulau Jawa menemukan sekitar 62,4% responden mengaku keberatan bila dipimpin oleh kelompok agama yang berbeda keyakinan dengannya. Bahkan sekitar 73,1% responden mengaku keberatan jika kelompok agama yang berbeda dengannya membangun tempat peribadatan di sekitar kediaman mereka. Padahal kita tahu bahwa karakteristik Islam moderat adalah toleransi dalam beragama.Survei PPIM juga menemukan lemahnya penerimaan responden terhadap pluralisme agama dan pemikiran. Sekitar sekitar 73,5% bahkan menolak corak pemikiran yang pluralis dan menyatakan bahwa keyakinan yang mereka anut adalah kebenaran mutlak.

Kedua, adalah mereformasi lembaga keagaman. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama pada Juli 2005 adalah kabar buruk bagi pelembagaan pemikiran-pemikiran yang moderat dan progresif. Makanya salah satu tantangan ke depan adalah menjadikan lembaga keagamaan lebih terbuka terhadap pembaharuan pemikiran Islam.
Tantangan ketiga adalah menjaga moderatisme organisasi kemasyarakatan dan keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Sejak dulu kedua organisasi ini sudah melembagakan pemikiran yang moderat. Moderatisme NU dan Muhammadiyah misalnya tampak dari penolakan terhadap Islam sebagai dasar negara. Bahkan dalam Muktamar NU pada 1935, para Ulama NU sudah mewajibkan masyarakat untuk mempertahankan Indonesia walau waktu itu masih dipimpin oleh Hindia Belanda. Pada Muktamar NU yang ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU menerima penerapan asas tunggal Pancasila dan menyatakan NKRI adalah keputusan final.

Keempat adalah mengikis gagasan yang menginginkan Islam sebagai dasar Negara. Gagasan ini sebelumnya pernah muncul dalam penentuan dasar dan falsafah bangsa melalui perdebatan panjang di Konstituante pada 1957. Namun sidang Konstituante akahirnya menyepakati Pancasila sebagai dasar negara.

Pada awal reformasi, upaya islamisasi negara kembali muncul dengan gagasan kembali ke Piagam Jakarta. Beruntung usaha memasukan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) kandas saat amandemen UUD 1945 di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).Penolakan terhadap usaha menjadikan Islam sebagai dasar Negara dapat dilakukan dengan menguatkan orientasi masyarakat terhadap nilai-nilai sekuler dalam sikap dan perilaku politik.

Tantangan kelima adalah memperkuat tingkat penerimaan publik terhadap demokrasi dan mewacanakan adanya kesesuaian Islam dan demokrasi. Salah satu faktor menguatnya radikalisme atas nama agama adalah adanya kekecewaan dan ketidaksetujuan gerakan radikal keagamaan terhadap demokrasi. Sehingga selain hendak menghancurkan simbol-simbol Barat, menghancurkan demokrasi adalah salah satu agenda gerakan radikal keagamaan. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia, Oktober 2006, mungkin bisa menjadi bahan untuk mempromosikan demokrasi. Temuan LSI menunjukkan pada pada tingkat konstitusional, 82% responden menganggap demokrasi sebagai sistem politik yang terbaik untuk Indonesia. Mayoritas responden (83%) juga meyakini Pancasila dan UUD 1945 paling cocok untuk Indonesia. Hanya 5,3% responden yang menganggapnya kurang cocok dan harus diganti dengan faham lain. Selain itu, mayoritas responden (78,4%) juga menganggap Islam sejalan dengan demokrasi. Dan hanya 8,4% yang menganggap Islam bertentangan dengan demokrasi. 85% responden juga melihat Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan Islam. Data di atas mengafirmasi bahwa pada tingkat konstitusional, mayoritas publik sudah menerima kesesuaian antara Islam dan demokrasi dan mendukung Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. Oleh karena itu, tantangan bagi kaum moderat adalah terus-menerus mengkampanye penguatan atas demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang terbaik.

Tantangan keenam adalah mengikis dan meredam laju gerakan radikal keagamaan. Hasil penelitian John O Voll, Guru Besar Sejarah pada George Town University, Amerika Serikat menunjukkan bahwa gerakan-gerakan radikal keagamaan justru lahir dan berkembang pada saat kran demokratisasi dibuka.
Tesis Voll rupanya menemukan bentuknya dalam kasus Indonesia. Beberapa gerakan radikal keagamaan seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad (LJ), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) justru lahir setelah reformasi. Temuan LSI 2007 tentang dukungan terhadap gerakan radikal keagamaan jelas mengagetkan kita. Hasil survei LSI menemukan masih tingginya rata-rata kesetujuan masyarakat Muslim Indonesia terhadap kelompok-kelompok Islam radikal dalam tiga tahun terakhir (2005, 2006, dan 2007). Rata-rata dukungan terhadap FPI sebesar 17%, MMI (11%), Jamaah Islamiyah (10%), dan HTI (5%).

Tantangan ketujuh menumbuh-suburkan toleransi. Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman yang panjang dengan toleransi. Sejak dulu, masyarakat Indonesia hidup berdampingan dengan kelompok minoritas. Tidak ada kekerasan. Tidak ada pembakaran terhadap rumah agama. Namun sikap toleransi itu berubah tatkala ada fatwa "sesat" terhadap satu golongan/organisasi. Sepertinya, hal itu berpengaruh pada munculnya sikap intoleransi yang dibalut oleh fatwa agama. Kekerasan dan penyerangan terhadap kompleks Ahmadiyah di Bogor dan Cianjur sejak keluarnya fatwa "sesat" tersebut adalah salah satu contoh yang dapat dilihat.

Tantangan kedelapan adalah mengubah pandangan keliru di masyarakat yang menganggap negatif Barat. Selama ini pandangan keliru terhadap Barat terus "dipelihara" dan ditatam dari generasi ke generasi pada sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia. Barat dianggap sebagai musuh yang menakutkan. Untuk itu menjadi tantangan bagi Indonesia untuk meluruskan pandangan yang keliru tentang Barat dan menjadi jendela dunia Islam dalam membangun hubungan baru dengan Barat. Kesembilan melakukan kritik terhadap pandangan yang keliru yang menjustifikasi agama dalam tindakan-tindakan kekerasan. Hal ini bisa dilakukan dengan menyebarkan pandangan Islam yang damai, ramah, terbuka, rasional, humanis, dan pluralis. Penyebaran pemikiran moderat ini sebenarnya sudah mendapat dukungan dari SBY. Dalam pidato di Harvard SBY menyampaikan kalangan moderat harus lebih pro-aktif dan tidak re-aktif.[10] Dan Dalam sebuah buku yang berjudul SBY dan Islam disebutkan bahwa SBY mempuanyi pemahaman, bahwa sebagai seorang muslim, tak akan menggiringnya menjadi seorang muslim yang eksklusif dan fundamentalis, akan tetapi lebih menampilkan sikap keberagaman yang toleran dan terbuka.[11]

Kesembilan tantangan tersebut tentulah terasa berat apabila kita tidak bergerak dari sekarang dan tidak memiliki “strategi” untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Terlebih kalau hanya berhenti di jargon dan retorika semata. Melahirkan generai-generasi Islam moderat tidak semata-mata harus dilahirkan dan bergantung pada dua ormas Islam besar Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan NU yang memang dari sejak berdirinya mempunayi maensteram Islam moderat di Indonesia. Dalam hal ini pemerintah harus mampu mandiri untuk tidak hanya mencitrakan Indonesia sebagai Islam moderat saja, namun secara nyata mampu melahirkan generasi generasi penerus yang berhaluan moderat. Tentu pemerintah tinggal mempunyai kehendak, karena hakekatnya sudah ada lembaga yang mampu melahirkan generasi-generasi tersebut yaitu Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan nasional sebagai contoh dengan memasukan pemahaman Islam moderat ke dalam kurikulum pendidikan agama Islam. Hal ini tentu menjadikan “istilah” Islam moderat dapat dikenal oleh generasi muda Indonesia dan bisa mengaplikasikanya secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari Dengan demikian tak sulit lagi untuk mengkapanyekan Islam moderat di bumi Nusantara ini.

Penutup

Pada prinsipnya kalangan moderat berusaha tidak terjebak pada keberagamaan tekstualis yang skriptualis karena ia menjadi salah satu sebab timbulnya kebekuan komunikasi hingga menyebabkan timbul ketegangan antarumat. Dengan melihat teks agama apa adanya, seseorang mudah menolak tradisinya sendiri karena dianggap bertentangan dengan tradisi teks (Arab). Kebenaran baginya adalah kebenaran teks, di luar itu dianggapnya keluar dari Islam, yang layak dihindarkan, jika tidak mengatakan diberangus. Maka tidak heran kemudian kalangan ini selalu membunyikan pentingnya khilafah islamiyah, penegakan syariah Islam, dan sejenis, serta menolak isu-isu demokrasi yang dianggapnya tercipta dari tradisi Barat, padahal semangat sejati dari demokrasi tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Khaled Abou Fadl (2005) dalam bukunya, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, cukup responsif menganjurkan agar umat Islam optimal mengembangkan teologi moderat. Bahkan baginya langkah ini berkaitan dengan penyelamatan jiwa dan nama baik Islam itu sendiri. Pertama kalangan moderat dianjurkan sebisa mungkin terdidik dan menguasai berbagai pengetahuan tentang Islam dan syariat. Karenanya, diharapkan menjadi tandingan klaim dan kekuasan yang sama terhadap klaim-klaim kelompok lain dalam mendifinisikan Islam, Kedua kalangan moderat harus memandang diri mereka dalam kondisi jihad-defensif agar agama terlindungi dari serangan interpretasi dan disinformasi cacat terhadap Islam yang digarap kalangan puritan (tektulis-skriptualis). Menurutnya jihad ini bukan bertujuan menumpahkan darah, tapi lebih pada jihad intelektual untuk merebut simpati kaum muslim dan non-muslim.[12] Disini terlihat bahwa Pendidikan yang komprehensip diharapkan bisa melahirkan generasi-generasi Islam moderat selanjutnya dan semakin menegaskan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin…. Wallahualam….

Referensi :

Buku

Djelantik, Sukawarsini.2008. Diplomasi aantara Teori dan Praktik. Graha Ilmu : Yogyakart

Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik.Yogyakarta:Graha Ilmu.

Noeh, Munawar.2004. SBY dan Islam. Elsaku : Depok

Suryohadiprojo, Sayidiman. 2005. Si Vis Pacem Para Bellum. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Surat Kabar

The Jakarta Post, November 8, 2004

Sudarsono, Juwono.2003. Tiga Sorotan Luar Negeri Terhadap RI Kompas, 29 Oktober 2003

Artikel Internet

M Hilaly Basa “Islam di Indonesia” dari http://koran.republika.co.id/berita/41357 diakses pada 20 November 2010

Fernadez , Aria .Mengembalikan Islam moderat . dari http://www.chartapolitika.com/index.php?option=com_content&view=article&id=295&catid=295 diakses pada tangga 21 November 2010

http://politik.kompasiana.com/2010/04/21/diplomasi-publik-indonesia-1/ diakses pada 29 September 2010

http://azasihasan.blogspot.com/2009/12/bersama-nu-menabuh-islam-moderat.html diakses pada 20 November 2010



[1] Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik.Yogyakarta:Graha Ilmu. Hlm 163

[2] Suryohadiprojo, Sayidiman. 2005. Si Vis Pacem Para Bellum. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

[3] Jemadu, Op.Cit hlm 165

[4] The Jakarta Post, November 8, 2004

[5] Sudarsono, Juwono.2003. Tiga Sorotan Luar Negeri Terhadap RI Kompas, 29 Oktober 2003

[6] Direktorat Jederal Diplomasi Publik berdiri seiring adanya kesadaran bahwa era globalisasi dan revolusi teknologi telah memaksa actor-aktor pemerintah resmi mengakui relevansi yang semakin besar actor-aktor trans-nasional (NGO/IGO dan MNC) dalam diplomasi internasional. Lihat Djelantik, Sukawarsini.2008. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Graha Ilmu : Yogyakarta

[7] M Hilaly Basa “Islam di Indonesia” dari http://koran.republika.co.id/berita/41357 diakses pada tanggal 20 November 2010

[8] Basa Ibid

[9]Fernadez , Aria .Mengembalikan Islam moderat . dari http://www.chartapolitika.com/index.php?option=com_content&view=article&id=295&catid=295 diakses pada tangga 21 November 2010

[10] Fernandez Ibid.

[11] Noeh, Munawar.2004. SBY dan Islam. Elsaku : Depok

TEOLOGI ISLAM ATAS DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN

TEOLOGI ISLAM ATAS DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN

Oleh: Rinrin Marlia Azhary

BAB I. PENDAHULUAN

Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik..” (QS. al-A’raf/7: 56)

A. LATAR BELAKANG

Sejak masa revolusi industri pada abad ke 18, peradaban manusia memasuki babak baru, yaitu masa optimisme akan kemajuan umat manusia berdasarkan keberhasilan teknologi industri.[1] Diakui atau tidak, bahwa industrialisasi telah memberikan sejumlah kemudahan pada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan bisa dikatakan bahwa industrialisasi merupakan sebuah kebutuhan manusia modern, karena berbagai sektor kehidupan manusia modern sangat tergantung pada industri. Sektor yang dimaksud seperti pertaniaan, peternakan, rumah tangga, perkantoran dan lain-lain.

Di samping menjadi kebutuhan masyarakat yang sulit untuk dihindari, industrialisasi juga sangat memberikan kontribusi yang signifikan kepada keuangan negara, terutama di sektor pajak, bea cukai dan lain-lain. Bahkan dengan bergairahnya industrialisasi diharapkan akan bisa menyerap tenaga kerja yang nantinya akan mengurangi angka pengangguran.

Namun untuk merealisasikan keinginan di atas, ternyata praktek industrialisasi menyisakan problem kerusakan lingkungan yang cukup serius, seperti pencemaran limbah, pemanasan global dan lain-lain, ia juga memberi dampak negatif pada masyarakat. diantaranya seperti polusi udara, kebisingan, banjir, panas, dan lain-lain. Semua itu tentunya akan mempengaruhi ketenangan dan kesehatan manusia, bahkan bisa berdampak pada kematian.

Sektor pembangunan ekonomi Indonesia pun juga telah menjadi kekuatan handal yang mengkonstruksi dunia industri sedemikian rupa, yaitu alam dipandang sebagai mesin raksasa yang sempurna untuk diatur. Akibatnya, pandangan terhadap alam yang dahulunya bersifat organis berubah menjadi mekanis, alampun menjadi obyek yang bebas dieksploitasi dan ditaklukkan demi kepentingan manusia.

Oleh karenanya, di sinilah kemudian dibutuhkan peran teologi Islam yang berorientasi pada lingkungan untuk mencermati masalah tersebut, sebagimana yang menjadi fokus dalam tulisan ini.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Secara teoritis tulisan ini bertujuan untuk mengetahui masalah-masalah yang terjadi pada lingkungan hidup serta upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut melalui pemahaman teologis.

2. Secara praktis penulisan ini bertujuan untuk memberikan contoh kepada banyak generasi intelektual/ aktivis mahasiswa islam baik yang memiliki tradisi yang sama atau tradisi yang berbeda tentang kepedulian terhadap lingkungan hidup sebagai bagian dari pengaplikasian keimanan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berwawasan ekologis.

C. RUMUSAN MASALAH

Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telas dijelaskan, perumusan bahwa tulisan ini membahas kaitan antara teologi keislaman dalam penyelamatan linkungan alam.

BAB II. PEMBAHASAN

1. Pengertian

Lingkungan adalah tempat dimana suatu makhluk hidup itu tumbuh, meliputi unsur unsur penting seperti tanah air dan udara.[2] lingkungan sendiri memiliki arti penting dalam kehidupan setiap makhluk hidup. Sedangkan teologi merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan[3]. Pengertian teologi dalama hal ini adalah bagaimana upaya “menghadirkan” dalam setiap aspek kegiatan manusia. Dengan kata lain teologi disini merupakan konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Tuhan” yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alam.

Masalah lingkungan akan selalu berbicara tentang kelangsungan hidup (manusia dan alam), jika melestarikan lingkungan sama maknanya dengan menjamin kelangsungan hidup manusia dan segala yang ada di alam maka sebaliknya, merusak lingkungan hidup, apapun bentuknya, merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup alam dan segala isinya, tidak terkecuali manusia.

Permasalahan kita sebagai masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tidak henti-hentinya dilanda penderitaan. Belum juga berhasil keluar dari krisis multidimensi, ditambah hantaman berbagai bencana alam seperti tsunami, gempa Bumi, banjir, longsor dan sebagainya. Sampai sekarang kita masih terus mengalami dampak dari bencana dahsyat tersebut, bukan saja berupa kehancuran fisik dan kehilangan ribuan nyawa tetapi juga trauma psikologis yang membutuhkan penangulangan secara serius. Banyak pendapat bermunculan tentang penyebab bencana alam ini, seiring dengan seringnya bencana alam terjadi. Ada yang berpendapat bahwa, bencana alam yang terjadi sebagai hukuman Tuhan atas kesalahan dan dosa manusia. Manusia dipandang sudah jauh dari jalan dan kehendak Tuhan. Ada yang berpendapat, bencana tersebut sebagai cobaan Tuhan kepada umat-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa, bencana tersebut terjadi sebagai suatu proses alamiah. Ada juga yang berpendapat bahwa bencana ini terjadi karena kesalahan manusia sendiri yang telah mengeksploitasi alam secara besar-besaran tanpa terkendali dan tidak memperhatikan kelestarian alam. Peristiwa bencana alam, telah melanda tanah air tanpa memandang bulu, bukan hanya melanda orang-orang yang berkeyakinan, suku, ras atau golongan tertentu saja. Dalam situasi seperti ini, agama dinilai memiliki peran yang sangat penting dalam kaitan untuk mendukung dan menolong umatnya keluar dari penderitaan.

2. Islam Sebagai Penyelamat Lingkungan

Selama ini wajah agama Islam sebagai penyelamat, pembela seringkali kurang dikenal justru oleh pemeluknya sendiri. Yang lebih dikenal dan muncul dalam wacana kehidupan justru wajah agama Islam sebagai ritual rutin, wajah agama yang terbatas pada wilayah spiritual belaka. Padahal agama Islam, terutama dalam wilayah teologis dengan konsep tauhidnya memberi dorongan yang sangat kuat bagi pemeluknya untuk menjadi manusia yang aktif dan dnamis dalam konteks sosial kemasyarakatan, seperti yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Dalam ajaran islam, Tuhan telah memberikan lampu merah bahwa kerusakan lingkungan, tidak lain adalah karena ulah manusia. Hal ini seperti yang tertera dalam al Qur’an surat Al Rum: 41.

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَفْعَلُ مِنْ ذَلِكُمْ مِنْ شَيْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (40)

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Al Rum: 41)

Dalam ayat itu dikatakan, kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia yang “destroyer/perusak” akan ditimpakan kepada manusia itu sendiri (baik mereka yang merusak mapun yang tidak terlibat) supaya mereka kembali ke jalan yang benar. Sayangnya manusia tidak pernah jera dan mau mengambil pelajaran di balik bencana alam yang terjadi. Namun terkadang kita sebagai manusia tidak peka terhadap tanda-tanda yang dihadirkan oleh alam sebagai bentuk protes mereka terhadap prilaku manusia yang rakus dalam mengesploitasi alam. Sepertinya syair Ebiet G.Ade “mungkin alam sudah enggan bersahabat dengan kita” semakin menunjukkan kebenaranya. Bahkan bukan lagi sekedar ’mungkin‘ tapi sudah benar-benar benci dan marah terhadap prilaku dekonstruktif manusia terhadap alam sekitarnya. Buktinya hampir tiap hari bencana alam akrab mengancam hidup manusia. Memerlukan waktu kurang dari satu jam untuk menebang kayu-kayu besar di rimba, tapi butuh ratusan tahun untuk membesarkan kayu-kayu itu kembali. Demikian juga dalam hal pelestarian hutan. Hutan dapat dihanguskan dan dirusak dalam hitungan jam, baik dengan satu biji korek api atau pembalakan liar yang dilakukan dengan menggunakan teknologi modern dan lain-lain, tapi butuh waktu puluhan, bahkan ratusan tahun untuk mengembalikannya ke kondisi semula.

Perlu pemahaman yang cerdas dan arif, bahwa memasukkan isu-isu pelestarian lingkungan dalam kurikulum pendidikan pesantren dan dayah, materi khutbah, sebagai suatu hal penting daripada membicarakan masalah ruknun min arkan al-Islam (rukun dari rukun Islam yang lima itu). Karena menjaga lingkungan hidup dan alam semesta ini adalah konsekuensi dari kepercayaan Tuhan kepada manusia yang telah Dia angkat menjadi khalifah (pengganti-Nya) di muka bumi ini. Tanggungjawab ini harus dipegang teguh semua orang.

Manusia mempunyai hak atau diperbolehkan untuk memanfaatkan apa-apa yang ada di muka bumi (sumber daya alam) yang tidak melampaui batas atau berlebihan (Al- An’am: 141-142).

Manusia baik secara individu maupun kelompok tidak mempunyai hak mutlak untuk menguasai sumber daya alam yang bersangkutan. Dalam hal ini, alam terutama bumi tempat tinggal manusia merupakan arena uji bagi manusia. Agar manusia bisa berhasil dalam ujiannya, ia harus bisa membaca “tanda-tanda’ atau “ayat-ayat” alam yang ditunjukan oleh Sang Maha Pengatur Alam. Salah satu agar manusia mampu membaca ayat-ayat Tuhan, manusia harus mempunyai pengetahuan dan ilmu.

Lingkungan alam ini oleh Islam dikontrol oleh dua konsep (instrumen) yakni halal dan haram. Halal bermakna segala sesuatu yang baik, menguntungkan, menentramkan hati, atau yang berakibat baik bagi seseorang, masyarakat maupun lingkungan. Sebaliknya segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan adalah haram.

Jika konsep tauhid, khilafah, amanah, halal, dan haram ini kemudian digabungkan dengan konsep keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan maka terbangunlah suatu kerangka yang lengkap dan komprehensif tentang etika lingkungan dalam perspektif islam.[4]

BAB III

Kesimpulan

Kerusakan lingkungan merupakan masalah sosial yang menyangkut kehidupan masyarakat luas sehingga pola pikir dan pola tindak berdasarkan moralitas dan praktek keberagamaan merupakan hal yang sangat dibutuhkan untuk memberikan kearifan dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan, untuk memberikan solusi terhadap krisis lingkungan yang terjadi selama ini.

Melunturnya semangat spiritualitas, ketauhidan, keberagamaan dan segala bentuk tindak kebajikan dalam kehidupan dunia modern telah menyebabkan manusia mengejar segala bentuk keduniaan dengan segala caranya. Sampai dengan tataran ini. Maka sebearnya permasalahan krisis lingkungan mempunyai korelasi yang sangat dekat dengan tujuan hidup manusia. Ketika manusia telah digelapkan dengan kehidupan materialisme, hedonisme, developmentalisme, dan sarat dengan kebendaan lainnya, maka semenjak itu pula sebetulnya manusia telah melupakan kewajibannya sebagai khalifah di muka bumi.

DAFTAR PUSTAKA

Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006)

Ian G. Barbour. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama. Bandung: Mizan Pustaka

Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

http://wikipedia.org

http://webcache.googleusercontent.com



[1] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 24.

[2] Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

[4] http://webcache.googleusercontent.com

Gagasan Hasan Hanafi Tentang Kiri Islam

Gagasan Hasan Hanafi Tentang Kiri Islam dalam menjawab tantangan globalisasi

Oleh: Widian

Pendahuluan

Dunia Islam kini sedang menghadapi ancaman yang berasal dari luar yaitu Imperialisme, Zionisme, dan kapitalisme. Sedangkan faktor dari dalamnya adalah kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan. Umat Islam, terutama kelompok miskin tertindas, di era globalisasi kapitalisme akan menghadapi gelombang kemiskinan struktural yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Golongan Muslim miskin membutuhkan teologi, paradigma dan analisis sosial yang memihak pada mereka. Itulah teologi bagi kaum tertindas, teologi yang membebaskan mereka dari ketertindasan dan eksploitasi global. Bagi golongan miskin dan marjinal, kehadiran globalisasi lebih membawa ancaman ketimbang berkah.

Upaya kritis untuk menyelesaikan permasalahan ini harus segera dilakukan demi menyelamatkan Islam dari kemunduran dan benturan bertubi-tubi dari arus global. Tumpuan utama kemunduran tersebut jelas berawal dari kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat di negeri-negeri muslim sendiri. Efek domino atas fenomena kemiskinan muncul dalam beragam wajah dan gejala, dari kemerosotan moral, kriminalitas, masalah kesehatan, kedaulatan dan independensi negara, bahkan sampai menghambat aktivitas ritual keberagamaan umat.

Hasan Hanafi mewacanakan tentang keharusan bagi dunia islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan progresif, dengan dimensi pembebasan didalamnya. Gagasan akan keadilan sosial yang harus ditegakkan kalau manusia ingin berfungsi sebagai pelaksana fungsi ketuhanan di muka bumi. Ini hanya bisa diwujudkan jika ada para pejuang pembebasan umat manusia yang tergabung dalam kegiatan yang terorganisasi yang mengarah pada tujuan pembebasan tersebut. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi gagasan Hasan Hanafi mengenai Islamic Left atau kiri Islam.[1]

Hasan Hanafi mengacu pada sosialisme dan memodifikasi pemikiran Marxisme-Leninisme. Modifikasi disini artinya bahwa hakikat materealistik dari determinisme historis yang meniscayakan kehancuran ideologi-ideologi besar modern ditolak secara tegas. Determinisme historis yang meniscayakan kebebasan manusia itu diberi roh non materealistik.[2]

Bisa disimpulkan bahwa hasan hanafi mencoba untuk menjadikan pemikiran kiri islam sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan. Gerakan kiri islam ini ditujukan guna menggerakan gerakan sosial revolusioner yang mengusung gagasan pembebasan melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner dari feodalisme dan kapitalisme.

Pengertian kiri islam

Istilah kiri islam yang dimotori oleh hasan hanafi merupakan upaya untuk menggali pendewasaan makna revolusioner dari islam, sebagai konsekuensi logis dari keberpihakannya kepada umat yang lemah dan tertindas. Makna kiri dalam pengertian hasan hanafi ini merupakan sebuah gerakan revolusi (moral-moral revolution govement) untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum tertindas, sehingga persamaan (egalitarian) dan keadilan umat manusia sejajar satu sama lain.

Inilah sesungguhnya, secara teologis, misi diciptakannya manusia oleh tuhan sebagai wakil tuhan dalam melaksanakan fungsi ketuhanan di muka bumi. Dengan demikian, kiri merupakan kritisisme religius dalam persoalan sosial ekonomi yang berpangkal dari tataran normatif ke pro aktif yang dalam istilah hasan hanafi disebut “Dari Akidah Menuju Revolusi”. Secara umum, konsep kiri selalu diartikan secara politis-ideologis yang cenderung radikal, sosialis, reformis, progresif atau bahkan liberal. Dengan demikian, secara garis besar kiri selalu menginginkan adanya progresifitas untuk menolak status quo.[3]

Bila kita cermati lebih lanjut, kiri islam-nya hasan hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi kapitalisme yang gagal mengangkat martabat manusia. Latar belakang kemunculan kiri islam hasan hanafi juga tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi kapitalisme dan sosialisme. Hasan hanafi relatif mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang materialistik dan determinisme historik.

Ini dilakukan supaya islam yang sejak awalnya merupakan sistem kehidupan yang membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi yang populistik (ideologi kaum tertindas) yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan pilihan hasan hanafi yang menamakan gerakannya dengan kiri islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya yang bersifat spiritualitas dan historis.

Kiri islam merupakan sintesis dari eksplorasi dan tafsir ulang yang cerdas terhadap khasanah keilmuan islam dan juga dari analisis konsep Marxian atas kondisi obyektif serta tradisi yang mengakar pada rakyat. Kiri bertumpu pada tataran tiga metodologi, sejarah Islam, fenomenologi dan analisis sosial marxian.

Oksidentalisme: suatu sikap atas tradisi Barat

Hasan Hanafi dengan kiri islamnya sangat menentang peradaban barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan hanafi memperkuat umat islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas kiri islam adalah pertama, melokalisasi barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban barat pada batas-batas kebaratannya. Asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, hasan hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan barat sebagai objek kajian. Oksidentalisme bagi hasan hanafi merupakan suatu upaya menandingi orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.

Munculnya oksidentalisme pada mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi ketimbang sebuah proyek peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, ada indikasi ketidakpuasan terhadap kajian-kajian Barat dan kebaratan yang sudah ada. Pertama, karena kajian - kajian semacam itu merupakan produk Barat yang notabene ­tidak bisa lepas dari bias dan subyektivitas. Kedua, kajian semacam itu tidak lebih dari sebuah promosi peradaban orang lain yang kurang (untuk tidak mengatakan kosong) dari kritisisme. Lebih dari sekedar alasan ini, nampak kelahiran oksidentalisme didorong oleh faktor emosional atas kesalahan - kesalahan dari Barat yang dialami dunia Timur pada umumnya dan dunia Islam khususnya. Barat dengan segala implikasinya telah berjaya menguasai Timur. Penguasaan, atau lebih tepatnya kolonialisme, Barat atas Timur ini dalam perjalanan sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari orientalisme. sehubungan dengan hal ini, Ahmad Sahal mengemukakan :

“Orientalisme adalah konsep Barat mengenai the Otherness dari dunia Timur. Sejak renaissance, Barat menemukan kesadaran humanisme sebagai identitas budaya mereka, sertamerta timbul definisi the Other dari budaya non - Barat. Timur adalah dunia lain karena penuh misteri, eksotik, aneh, bermental pasif, dan seterusnya. Artinya, Timur harus `divisualisasikan`. Proyek sivilisasi lalu menjadi pembenaran ideologis bagi berlangusngnya kolonialisme. Humanisme, orientalisme, dan kolonialisme dalam sejarahnya ternyata berjalan paralel. Tidak heran bila sistem pengetahuan orinentalisme selama berabad - abad menjadi alat kepentingan kolonialisme. Karena, mengetahui Timur identik dengan menguasainya”.[4]

Dengan demikian, terbentuknya oksidentalisme adalah sebagai upaya untuk menangkis serangan Westernisasi yang sudah semakin meluas saja wilayah jangkauannya, tidak saja terbatas dalam kehidupan seni dan budaya, melainkan sudah meluas ke dalam tata - cara kehidupan sehari - hari. Westernisasi adalah bagian tak terpisahkan dari alienasi, yaitu saat berpindahnya subyek diri (ego) kepada yang lain (the other).[5] Seseorang yang terbaratkan adalah yang sudah alamiahnya, menjelaskan proporsinya, asal - usulnya, kesesuaiannya dengan situasi kesejahteraan tertentu, jenis religiusitas dan karakteristik masyarakatnya sehingga dapat dihadapkan pada peradaban non Eropa, untuk memperlihatkan bahwa terdapat banyak model peradaban dan banyak jalan menuju kemajuan.

Kesimpulan

Hasan Hanafi adalah cendikiawan muslim yang berkeyakinan bahwa tradisi agama mempunyai pijakan ideologis yang kuat untuk menggerakkan perubahan sosial. Pengelaborasian tradisi lama dengan abstraksi dari basis material massa dan kebudayaan dari ideologi-ideologi modern merupakan pertautan menarik diantara bangunan epistemologi dari sebuah paradigma. Tradisi lama akan dianggap efekti dalam menggerakkan massa, karena ia berakar dan melembaga sebagai tradisi dalam masyarakat, sedangkan abstraksi ideologi modern dapat memberikan spirit untuk mengarahkan nuansa progresivitas gerakan massa.

Melalui gagasan kiri Islam, Hasan Hanafi ingin menginginkan adanya pertautan antara agama dan revolusi. Sehingga agama bisa dijadikan alat untuk membebaskan manusia dari penindasan yang dilakukan penguasa. Agama harus mampu menggerakan semangat rakyat untuk melakukan revolusi demi terciptanya masyarakat tanpa klas.

Sedangkan konsep oksidentalisme, menurut gagassan Hasan Hanafi, berusaha untuk menyeimbangkan pola pikir antara Barat dengan Timur. Jika selama ini Barat selalu menganggap Timur sebagai Obyek, maka oksidentalisme Hanafi, mencoba membalik pemikiran ini dengan menjadikan Barat sebagai obyek yang diteliti oleh Timur.

Jika kedua konsep ini digabungkan maka masyarakat Islam mampu hidup rukun tanpa klas, dan peradaban dunia milik semua manusia. Tidak ada lagi dikotomi penindas dan tertindas, barat dan timur, kaya dan miskin, karena semuanya sama baik dari segi material maupun dari segi peradaban.



[1] Listyono Santoso, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2003, Hlmn 272

[2] Ibid, hlmn 273

[3] M. Arifin, MA dalam acara “Workshop Pemikiran Ulama Kontemporer” yang diselenggarakan oleh Keluarga Pelajar Jakarta (KPJ) peiode 2003-2004 di Wisma Nusantara pada tanggal 26-27 Agustus 2004.

[4] Ahmad Sahal. “Orientalisme :Hegemoni Kultural” dalam Ulumul Qur`an Vol. III, No. 3, tahun 1992, hlmn 32

[5] Hassan Hanafi, Muqadimah fi`ilm al - Istigharab (Kairo; Darul Faniah, 1991) hlmn 25